Menurunnya Penjualan Vespa
Di awal tahun 1960-an Vespa mulai masuk Indonesia
dengan ATPM PT Danmotors Vespa Indonesia (DVI). Pada waktu itu membeli
sebuah Vespa berarti membeli sebuah simbol status sosial. Hanya
orang-orang tertentu dari kalangan menengah ke atas yang sanggup
membelinya. Orang-orang pun akan cukup bangga apabila bisa mengendarai
Vespa. Bahkan di salah satu daerah, tepatnya di Kelurahan Danukusuman,
Solo, hanya satu orang yang mampu membeli sebuah Vespa baru karena
harganya pada waktu itu yang cukup tinggi dan jauh lebih mahal dari
motor-motor lain. Sampai-sampai pada waktu itu kita bisa memilih mau
membeli Vespa atau sebuah rumah.
Namun
seiring dengan perkembangan jaman, persaingan di tingkat industri
sepeda motor mulai meningkat dengan masuknya motor-motor bebek buatan
Jepang ke Indonesia. Pihak Honda, Yamaha, Suzuki, ataupun Kawasaki
cukup responsif terhadap pesaing dan konsumen sehingga dari tahun ke
tahun terus memunculkan model-model baru yang lebih trendi,
stripping-stripping baru yang lebih gaul, serta aksesoris-aksesoris baru
yang lebih modern. Dan sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia
yang kebanyakan dari kalangan menengah ke bawah, pabrikan-pabrikan
Jepang mampu memproduksi motor yang sesuai keinginan konsumen, yaitu
irit bahan bakar dan harganya terjangkau.
Di
pihak lain, Vespa ternyata kurang responsif menanggapi hal itu.
Kepercayaan PT DVI terhadap kesetiaan pelanggan yang cukup tinggi
membuat ATPM tersebut terlena sehingga tidak gencar melakukan promosi
dan inovasi terhadap perbaikan model. Implikasinya berdampak langsung
terhadap penjualan Vespa.
Merosotnya
penjualan Vespa lebih disebabkan oleh lemahnya strategi pemasaran PT
DVI. Salah satu hal yang bisa dijadikan senjata bagi PT DVI adalah model
Vespa yang cenderung beda dan unik. Diferensisasi produk yang
seharusnya menjadi ikon utama Vespa tersebut gagal ditampilkan dengan
baik oleh PT DVI. Keunggulan teknologi mereka, seperti Automatic Oil
Mixer dan CDI juga tidak direspon positif oleh konsumen karena tidak
dirasakan sebagai barang baru bagi konsumen. Teknologi tersebut sudah
diterapkan sejak lama pada motor-motor bebek 2 tak.
Dari
sisi bauran pemasaran berupa produk, distribusi, promosi, dan harga
juga tidak tampak hal baru. Dalam hal produk yang ditawarkan PT DVI,
basic modelnya masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya dan tidak ada
inovasi yang berarti. Dari sisi distribusi, PT DVI tidak banyak membuka
show room dan service center. Kebanyakan di satu kota
hanya terdapat 1 dealer kecil saja. Hal ini akan sangat mempengaruhi
persepsi konsumen mengenai layanan after sales yang ujung-ujungnya
mengurungkan niat konsumen untuk membeli Vespa. Dalam hal promosi, masih
dirasakan kurang berkelanjutan dan kurang gencar, tidak seperti para
pesaingnya yang terus menyerang lewat berbagai media massa.
Sedangkan dari sisi harga, patokan harga Vespa melebihi motor-motor
bebek yang lain. Sebuah Vespa Exclusive baru harganya bisa mencapai 15
juta. Bandingkan dengan harga motor-motor bebek Jepang yang harganya
bervariasi mulai dari 9-13 jutaan. Sedangkan Vespa CBU inovasi terbaru
yang menggunakan teknologi perpindahan gigi otomatis (Scooter Matic)
keluaran Piaggio Itali, seperti X5 atau X9, harganya sudah diatas 20
jutaan. Jika dilihat dari sisi positioningnya, dengan mengedepankan
image kualitas Vespa yang cukup tinggi, dirasakan sudah tidak efektif
lagi. Slogan Vespa yang berbunyi ”Lebih Baik Naik Vespa” sudah tidak
memikat hati konsumen lagi. Persepsi kualitas Vespa bahkan berada di
bawah Honda dan Yamaha. Hal ini diperoleh dari hasil survei MarkPlus
Professional Services bersama SWA di 5 kota
besar di Indoensia. Dari sini sudah kelihatan bahwa PT DVI sudah
kesulitan memposisikan produknya di pasar. Pada awal masuknya Vespa ke Indonesia,
segmentasi pasar Vespa sudah cukup jelas, yaitu diperuntukkan bagi
kalangan menengah ke atas yang sudah cukup mapan. Sehingga image sebagi
kendaraan yang memiliki prestise tinggi bisa terpenuhi. Namun sekarang
kebanggaan memakai Vespa sudah mulai luntur. Diawali dengan tren
perusahaan farmasi yang memakai Vespa sebagai kendaraan operasionalnya
mengakibatkan konsumen enggan memakai Vespa karena tidak mau dikira
penjual obat. Di sisi lain, Vespa-vespa bekas keluaran tahun 60-an
hingga 70-an harganya turun drastis dan tidak mampu mempertahankan image
prestise yang tinggi. Bayangkan, kalau dulu kita cukup menjual sebuah
Vespa untuk membeli sebuah rumah, kini diperlukan 50 Vespa bekas untuk
membeli sebuah rumah dengan kisaran harga 150 juta.
Komponen
nilai pemasaran yang bisa digunakan untuk menganalisis kasus diatas
adalah merek, layanan, dan proses. Merek Vespa dulu erat kaitannya
dengan persepsi masyarakat tentang kualitas tinggi, menengah-atas, dan
gagah. Dan banyak orang mengejar status sosial tersebut dengan membeli
Vespa lantaran harga mobil waktu itu sangat tinggi. Namun sekarang citra
merek tersebut sudah mulai luntur. Merek Vespa sudah tergantikan dengan
hadirnya merek Kijang, Panther, Supra, Shogun, ataupun Jupiter di benak
konsumen. Merek-merek tersebut gencar mempromosikan produknya sehingga
brand awareness Vespa menurun. Kini Vespa hanya tinggal nama saja.
Sedangkan
untuk masalah layanan, sebenarnya dari sisi produk Vespa sudah cukup
reliable dan memberikan assurance, tetapi kurang responsif dan empati
terhadap pembeli. Dalam hal proses, terlihat jelas pengembangan kerja
sama antara Piaggio, Itali dengan ATPM di Indonesia dan dealer-dealer di
daerah tidak berjalan dengan baik. Buktinya PT DVI tidak bisa
mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi.
Saya kira PT DVI perlu merubah strateginya untuk meningkatkan pangsa pasarnya di Indonesia. Pertama, Vespa perlu mempelajari variabel psikografik dalam menentukan segmen pasar, yang mencakup karakteristik, gaya
hidup, kelas sosial, atau kepribadian dari konsumennya. Jangan hanya
terbatas pada variabel geografik dan demografik saja. Kedua, target
pasar yang dituju pun juga harus dirubah. Saat ini, Vespa ditujukan bagi
mereka yang ingin tampil beda dan unik. Bukan ditujukan bagi mereka
yang ingin membeli kendaraan yang umurnya panjang sampai 20 tahun.
Konsumen sekarang cenderung memilih kendaraan yang hemat bahan bakar,
murah, dan tidak rewel. Ketiga, survei untuk mengetahui persepsi
masyarakat akan Vespa jangan terbatas pada pengguna Vespa saja. Pengguna
non-Vespa juga perlu ditanyai mengapa anda tidak memilih Vespa?
sehingga langkah-langkah yang diambil selanjutnya akan lebih efektif.
Selain
itu taktik pemasaran Vespa seharusnya dititikberatkan pada masalah
diferensiasi produk, bauran pemasaran, dan teknik menjual. Dengan
menonjolkan bentuk dan model Vespa yang cukup unik dan beda akan
mempengaruhi persepsi konsumen terhadap Vespa. Sedangkan dari sisi
bauran pemasaran inovasi terhadap produk harus dilakukan secara
berkelanjutan, promosinya harus gencar dan berkelanjutan, saluran
distribusinya harus diperbanyak, serta harganya sebisa mungkin ditekan.
Dari sisi selling, Vespa harus mulai menjual benefit ke konsumen atau
bahkan menjual solusi, bukan hanya feature selling saja. Selain itu
untuk meningkatkan loyalitas konsumen, perlu diadakan pembinaan
klub-klub Vespa yang jumlahnya ratusan di Indonesia
ini. Seharusnya PT DVI mewadahi para penggemar Vespa yang memiliki
ekspresi dan ide-ide tentang restorasi dan modifikasi Vespa melalui
pertemuan rutin, pameran-pameran, kontes otomotif, atau toruing bersama.
Selain itu PT DVI diharapkan bisa memasok aksesoris-aksesoris pendukung
tampilan Vespa yang orisinil berupa keranjang, lampu, emblem, helm, win
shield, bagasi belakang, atau ban strip putih.
1 komentar:
"Konsumen sekarang cenderung memilih kendaraan yang hemat bahan bakar, murah, dan tidak rewel"
Vespa saya Exclusive 2 tahun 1995, gak rewel malah cenderung tahan banting, sangat awet, tidak butuh perhatian khusus jadi biaya lebih murah, gak seperti motor sekarang yg saya rasa dibuat untuk dan lebih sering ke bengkel. dan lebih irit dari mio ibu saya dan megapro bapak saya. saya isi 2 liter untuk 3x pulang pergi kantor.
Posting Komentar